- Back to Home »
- Agama , Artikel , Cinta »
- Kisah Cinta Ali Dan Fatimah
Posted by : Unknown
Thursday, 6 March 2014
Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang,
cukup cintai ia dalam diam..
Karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya..
kau ingin memuliakan dia,
dengan tidak mengajakanya menjalin hubungan yang terlarang,
kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya
Karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu..
menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu..
Karena diammu bukti kesetiaanmu padanya..
karena mungkin saja orang yang kau cinta adalah juga
orang yang telah ALLAH swt pilihkan untukmu..
Ingatkah kalian tentang kisah Fathimah dan ‘Ali?
yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan..
tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah..
Karena dalam diammu tersimpan kekuatan..
kekuatan harapan..
hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata
hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata..
bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap padanya?
Dan jika memang 'cinta dalam diammu' itu tak memiliki kesempatan
untuk berbicara di dunia nyata,
biarkan ia tetap diam..
Jika dia memang bukan milikmu toh Allah, melalui waktu akan menghapus 'cinta dalam diammu' itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat..
biarkan 'cinta dalam diammu' itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu..
Sungguh beruntung bila diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak
cinta dari seorang Ali bin Abi Thalib RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra
RA. Karena keduanya adalah sosok yang memiliki cinta sejati yang
mumpuni. Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Saling menenguhkan keimanan masing-masing kepada Allah SWT.
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada
siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika
ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar
perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah
Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka
Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang
Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk
menimpali.
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang
tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena
merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar
lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti
’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi
dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti
maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berdakwah. Lihatlah berapa banyak
tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi
Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang
pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir
yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu
Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan
dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku” Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah
keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas
harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali
terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Namun, ujian itu
rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki
yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat
muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-
musuh Allah bertekuk lutut.
Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk
mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang
hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan
lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar
dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar.”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu
coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar
melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit
pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia
thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin
isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa
henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki
pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam
pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan
’Ali pun ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali
bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman
sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang
seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang
kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang
setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari
Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah,
sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda
Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku
hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu,
kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia
tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada
satu set baju besi disana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia
siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap
memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah
Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak, itu resiko. Dan kejelasan
jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana
lamaranmu? ”Entahlah…” “Apa maksudmu?” “Menurut kalian apakah ’”Ahlan wa Sahlan” berarti
sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.
Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan
ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar,
’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan
janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak
ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di
sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia
mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah
denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali
terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku?
dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun berkata; “Ya,
karena pemuda itu adalah dirimu”
Kemudian Nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk menikahkan Fathimah puteri Khadijah dengan Ali
bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya
dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut”
Kemudian Rasulullah SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan
kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian
berdua kebajikan yang banyak”
Cinta Ali dan Fatimah luar biasa indah, terjaga kerahasiaanya dalam sikap, ekspresi, dan kata, hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam suatu pernikahan. Konon saking rahasianya, setan saja tidak tahu menahu soal cinta di antara mereka. Subhanallah. Ali terpesona pada Fatimah sejak lama, disebabkan oleh kesantunan, ibadah, kecekatan kerja, dan paras putri kesayangan Rasulullah Saw. itu. Ia pernah tertohok dua kali saat Abu Bakar dan Umar ibn Khattab melamar Fatimah sementara dirinya belum siap untuk melakukannya. Namun kesabarannya berbuah manis,lamaran kedua orang sahabat yang tak diragukan lagi kesholehannya tersebut ternyata ditolak Rasulullah Saw. Akhirnya Ali memberanikan diri. Dan ternyata lamarannya kepada Fatimah yang hanya bermodal baju besi diterima. Di sisi lain, Fatimah ternyata telah memendam cintanya kepada Ali sejak lama. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah kedua menikah, Fatimah berkata kepada Ali: “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya”. Ali pun bertanya mengapa ia tetap mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya. Sambil tersenyum Fathimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu".
Cintai ia dalam diam, dari kejauhan, dalam kesederhanaan dan keikhlasan..
Cukup cintai ia dalam diam.. bukan karena membenci hadirnya, tapi
menjaga kesuciannya. bukan karena menghindari dunia, tapi meraih
syurga-Nya. bukan karena lemah untuk menghadapinya, tapi menguatkan jiwa
dari godaan syaitan yang begitu halus dan menyelusup..
Cukup cintai ia dari kejauhan.. karena hadirmu tiada kan mampu
menjauhkannya dari dugaan, karena hadirmu hanya akan menggoyahkan iman
dan ketenangan juga, hadirmu mungkin saja akan membawa keengsaraan hati
yang terjaga..
Cukup cintai ia dengan kesederhanaan.. memupuknya hanya akan menambah
penderitaan, menumbuhkan harapan hanya akan mengundang kekecewaan,
dan juga mengharapkan balasan hanya akan mencipta kebahagiaan para
syaitan..
Kisah ini bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Perasaan yang insya Allah akan indah ketika waktunya tiba..
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Perasaan yang insya Allah akan indah ketika waktunya tiba..
Post a Comment