- Back to Home »
- Artikel , Politik »
- Perbedaan Besar Antara Musyawarah Dan Demokrasi
Posted by : Unknown
Wednesday, 26 February 2014
Musyawarah dan demokrasi merupakan
dua metoda penyelesaian masalah kehidupan dunia yang berbeda bahkan sangat
berlawanan. Musyawarah menghasilkan suatu keputusan yang disebut
mufakat.Sedangkan, demokrasi menghasilkan suatu keputusan yang disebut
penetapan pihak yang memenangkan pemilihan yang dilaksanakan.
Mufakat sebagai hasil keputusan musyawarah merupakan hasil terbaik dari
standarisasi terbaik dari suatu proses pengajuan dasar-dasar pemikiran
pemecahan masalah yang disepakati dan ditetapkan secara bersama di dalam suatu
Lembaga/Majelis terhadap suatu persoalan kehidupan berbangsa dan
bernegara.Sedangkan dalam alam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar
nilai baik-buruk karena siapapun berhak mengklaim baik-buruk terhadap
sesuatu.Masyarakat bersikap "apapun boleh".
Demokrasi itu berasal dari kata
latin yang secara harfiah berarti Kekuasaan Untuk Rakyat. Atau oleh
pendukungnya disebutkan sebagai: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat.
Setiap orang, siapa pun dia, memiliki satu suara yang sama nilainya. Jadi, dalam
demokrasi, yang dipresentasikan dalam bentuk Pemilihan Umum, suara seorang
pelacur, suara seorang perampok, suara seorang penzina, suara seorang pembunuh,
suara seorang munafik, dan suara seorang musuh Allah itu dianggap senilai dan
sederajat dengan suara seorang ustadz yang benar-benar ustadz, atau dianggap
sama dan sederajat dengan suara orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan
Islam.
Kenyataan inilah yang menegaskan
jika sesungguhnya Islam tidak bersesuaian dengan demokrasi. Allah SWT di dalam
al-Qur’an telah dengan tegas menyatakan jika semua manusia itu sama namun yang
membedakannya adalah kadar ketakwaannya. Jadi dihadapan Allah SWT, orang yang
sungguh-sungguh menjual hidupnya untuk meninggikan Islam itu tidaklah bisa
dianggap sama dan sederajat dengan para perampok, pembunuh, dan penzina.
Prinsip demokrasi nyata-nyata bertentangan dengan Prinsip Islam. Islam hanya
mengenal Syuro, bukan demokrasi. Dalam Syuro, suara seorang ulama besar dan
tinggil keilmuannya, yang terbukti perjalanan hidupnya bersih dari cacat dan
cela, lebih tinggi dan bernilai ketimbang orang awam.
Pertentangan antara demokrasi dan syuro
(musyawarah) tersebut sesungguhnya wajar karena Demokrasi memang tidak
dilahirkan dari rahim Islam. Demokrasi lahir dalam sejarah Barat, dari Plato.
Dan adalah ironis, Plato sendiri, Sang Bapak Demokrasi, pun ternyata dalam
hidupnya tidak menerapkan prinsip demokrasi ini. Plato memiliki ratusan budak
yang bisa sesuka hatinya diperintah olehnya. Dan adalah juga kenyataan sejarah
jika kerajaan Yunani tempat Plato hidup pun tidak pernah melaksanakan
demokrasi. Demokrasi berkembang cepat setelah Revolusi Perancis yang terkenal
dengan istilah Liberte, Egalite, dan Fraternite. Kedengarannya
bagus, tapi kita harus kritis menelaahnya.
Yang dimaksudkan dengan tiga semboyan
Revolusi Perancis tersebut ternyata hanya menguntungkan segolongan kecil elit
yang berkuasa di Perancis kala itu, yakni kaum pemilik modal alias pengusaha
besar, dan tokoh militer. Slogan ini mengandung arti yang melekat pada
kepentingan-kepentingan kaum bourjuasi Perancis yang tengah timbul, yang
mendapat halangan dari kekuasaan kaum bangsawan. Jadi tidaklah bebas nilai.
Inilah arti slogan sesungguhnya:
LIBERTE (Kemerdekaan atau Kebebasan) adalah kebebasan bagi kaum
borjuis untuk menerapkan perdagangan bebas, bebas memonopoli pasar dan daerah
pemasaran, bebas bersaing dengan pengusaha rakyat yang bermodal kecil, dan
sebagainya yang mengakibatkan rakyat yang miskin bertambah miskin dan yang kaya
bertambah kaya.
EGALITE (Persamaan) adalah persamaan antara kaum borjuasi sendiri
dengan kedudukan ancien-regime, penguasa lama, sebelumnya. Jadi kaum
borjuis merasa memiliki hak dan kedudukan yang sederajat dengan kaum bangsawan
yang dulu memerintah Perancis.
FRATERNITE (Persaudaraan) adalah persaudaraannya kaum borjuis dengan
kaum borjuis lainnya. Tidak hanya antara kaum borjuis Perancis, tapi juga
dengan kaum borjuis Inggris, Jerman, dan lainnya di seluruh dunia. Istilahnya
Semangat Korps Borjuis.
Slogan inilah yang menjiwai prinsip
demokrasi, sehingga dalam pelaksanaannya di semua negara, kita bisa melihat
fakta jika demokrasi hanya melahirkan penguasa-penguasa baru, orang-orang kaya
baru, elit-elit baru, yang sama sekali tidak memperdulikan kepentingan rakyat
kecil. Hal ini bisa dengan mudah kita lihat fakta riil-nya dalam pelaksanaan
demokrasi di Indonesia.
Era reformasi yang dianggap
terbukanya sumbatan demokrasi di negeri ini telah melahirkan banyak partai
politik. Dan setelah berjalan sepuluh tahun, adalah suatu fakta jika banyak
elit partai politik kini kehidupannya telah berubah pesat. Yang tadinya tinggal
di rumah kontrakkan sekarang telah memiliki vila mewah dan mobil bagus puluhan
jumlahnya. Yang tadinya pengangguran atau karyawan biasa di suatu perusahaan,
kini telah bisa hidup sejahtera dengan duduk sebagai anggota dewan. Jadi,
adalah suatu kenyataan jika partai politik sebenarnya adalah kendaraan
segelintir orang untuk mengubah atau memperkaya diri sendiri atau keluarganya.
Ini fakta tak terbantahkan. Coba lihat, adakah elit partai yang bertambah miskin
atau minimla harta bendanya tetap, setelah menjabat atau duduk sebagai anggota
dewan? Tidak ada.
Bagaimana dengan kehidupan rakyat
banyak di Indonesia? Adalah fakta jika reformasi tidak membawa perubahan
terhadap rakyat kecil ke arah yang lebih baik. Yang miskin tetap miskin. Yang
melarat tetap melarat. Bahkan banyak kasus, yang terjadi adalah proses
pemiskinan yang bertambah hebat. Inilah demokrasi.
Alhamdulillah sekarang sudah banyak
rakyat yang sadar bahwa kehidupan yang lebih baik tidak akan bisa diperoleh
dari jalan demokrasi, karena itu mereka telah apatis terhadap pemilu, angka
golput tinggi. Tingkat partisipasi rakyat dalam berbagai pilkada membuktikan
hal itu. Negeri ini hanya akan bisa diselamatkan oleh satu jalan, yakni
Revolusi, sebagaimana Nabi Muhammad SAW memimpin umatnya untuk menggulingkan
kekuasaan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW yang memiliki isteri, Khadijah, yang
kaya raya, tetap hidup sederhana dan miskin, bahkan sering kelaparan. Hartanya
dihibahkan untuk perjuangan Islam dan mencapai kegemilangan. Sayang, saat ini
belum ada orang atau pemimpin umat yang seperti atau meneladani Rasulullah SAW
secara kaffah. Yanga da meneladani Muhammad SAW sepotong-potong, yang
enak-enaknya saja, lahir bathin.
Post a Comment